Senin, 26 Mei 2014

REVOLUSI DOA DAN REVOLUSI MENTAL

 oleh Sindhunata (Pemimpin Redaksi Majalah Basis, Yogyakarta) dan Joko Widodo (Gubernur DKI Jakarta, Calon Presiden PDI Perjuangan 2014)


sesawi.net
KITA memerlukan pemimpin yang taat beragama, yang bisa membawa perbaikan moral bangsa. Begitu dikatakan mantan Wakil Presiden Hamzah Haz baru-baru ini. Hamzah Haz juga menyarankan perlunya dibangun lebih banyak tempat ibadah, agar semakin banyak orang berdoa sehingga semakin banyak pula orang yang memiliki moral yang baik.

Hamzah Haz tidak keliru jika ia menghubungkan doa dan moral yang baik. Hanya masalahnya, doa manakah yang bisa membuahkan moral yang baik? Pertanyaan ini kebetulan juga sedang digeluti sejumlah sarjana antropologi dan teologi Islam maupun Kristen. Pergulatan mereka dikumpulkan di bawah tema ”Prayer, Power, and Politics” dalam jurnal Interpretation, Januari 2014.

Para antropolog kultural memahami doa sebagai aktivitas ritual. Dari sudut kultural, ritus adalah kesempatan, di mana orang menjalin hubungan baik dengan kelompoknya, maupun realitas sosialnya, termasuk kekuasaan. Sementara karena pada hakikatnya kekuasaan selalu relasional, kekuasaan mau tak mau juga memengaruhi ritus dan dirasakan secara riil oleh mereka yang menjalankan aktivitas ritual itu. Di situlah terletak hubungan antara doa dan kekuasaan. Dengan pendekatan di atas, Rodney A Werline, profesor studi agama-agama di Barton College, North Carolina, meneliti bagaimana doa-doa dihidupi tokoh-tokoh Kitab Suci Perjanjian Lama, seperti Hannah, Ruth, Salomo, dan Daniel. Dari penelitiannya terlihat doa terjadi dalam cakupan relasi sosial dan historis yang amat luas.
biografi.blogspot.de

Doa bisa berfungsi sebagai dinamika keluarga, sebagai ekspresi cinta di antara sahabat, sebagai ratapan orang jujur yang tidak bersalah tetapi menjadi korban, sebagai teguran pemuka agama terhadap umatnya dan sebagai upaya bagaimana mengobati luka sosial umatnya, sebagai jalan bagi para pemimpin untuk menjalankan kepemimpinannya, juga sebagai jalan menentang kekuasaan represif.
Kekuasaan sendiri bukanlah jelek atau baik. Namun, kekuasaan bisa digunakan untuk membangun hidup atau merusak hidup masyarakat. Karena terjalin dengan kekuasaan dalam sebuah realitas sosial dan kultural, doa juga bisa dijadikan jalan untuk membangun hidup, tetapi doa pun bisa dimanfaatkan untuk merusaknya. Ini semua berarti, doa tak pernah bisa dilepaskan dari etika.

Radikalitas doa

Lex orandi, lex credendi: bagaimana kita berdoa, itu menentukan bagaimana kita beriman dan percaya. Aksioma tersebut menegaskan bahwa aturan-aturan dan
hukum-hukum iman sangatlah ditentukan oleh bagaimana kita berdoa. Seperti dipaparkan Nico Koopman, profesor teologi sistematik dan etika di Universitas Stellenbosch, semasa rezim apartheid di Afrika Selatan, aksioma itu diperluas menjadi lex orandi, lex credendi,dan lex (con)vivendi. Artinya, bagaimana kita berdoa tidak hanya menentukan bagaimana kita beriman, tetapi juga bagaimana kita hidup, bahkan bagaimana kita hidup bersama.

Di Afrika Selatan semasa rezim apartheid, doa dan upacara agama memang menjadi ambivalen. Doa bisa untuk menindas ataupun untuk membebaskan. Di bawah rezim represif, doa dan iman bahkan dilegitimasikan secara teologis untuk melestarikan penindasan. Karena itu, doa juga perlu dikoreksi secara etis.
Maka, doa harus dibebaskan dari cengkeraman rezim represif, lalu dijadikan kekuatan untuk meraih terjadinya masyarakat baru yang bebas dari penindasan. Doa harus bisa menjadi kekuatan kritis untuk mendobrak masyarakat yang tidak adil. Di sini, seperti diajakkan filsuf Nicholas Wolterstorff dari Amerika Serikat, kita perlu memahami kesucian itu bukan semata-mata dari kategori kesucian sendiri, tetapi juga dari kategori keadilan.

Kata Wolterstorff, masyarakat yang tidak adil adalah masyarakat yang kehilangan keutuhannya. Dalam masyarakat ini sekelompok orang tersudut di pinggiran, dan tak terinkorporasikan ke dalam kehidupan yang sedang berkembang dalam masyarakat itu. Masyarakat demikian bukanlah citra atau cerminan dari Tuhan dalam keutuhan- Nya. Dalam keutuhan-Nya yang komunitarian, Tuhan tidak mengecualikan siapa pun. Karena itu, masyarakat yang tidak adil dan mengecualikan itu adalah masyarakat yang tidak suci. Maka, masyarakat baru yang kita cita-citakan hendaklah menjadi masyarakat kesucian dan keutuhan, masyarakat di mana terjadi integritas dan komunitas, inklusi dan pemerataan keadilan, serta kesatuan hidup yang subur berkembang.

Doa Kristiani sesungguhnya selalu merindukan datangnya masyarakat semacam itu. ”Datanglah kerajaan-Mu”, itulah yang didoakan mereka dalam doa Bapa Kami, seperti diajarkan oleh Yesus sendiri. Maka, ahli kitab suci Afrika Selatan, William Domeris, mengungkapkan, datanglah kerajaan-Mu itu adalah sebuah doa revolusioner. Doa ini menyerang jantung kejahatan di dunia, dan memaklumkan matinya segala macam bentuk penindasan, serta mengharap datangnya kerajaan baru di dunia. Dengan mendoakan ”datanglah kerajaan-Mu”, orang menatap berakhirnya zaman penindasan ini, dan pada saat yang sama, seperti diajakkan Yesus, bersama-sama mengusahakan tegaknya kerajaan baru sebagai realitas fisik, di mana penindasan diakhiri dan pembebasan Tuhan dimulai. Mendoakan ”kedatangan kerajaan Tuhan” adalah melantunkan doa melawan pemerintah yang tidak adil.

Melawan kemungkaran

Jelas doa pada hakikatnya berhubungan dengan realitas sosial, pembebasan, dan keadilan. Menurut Mun’im Sirry dan A Rashied Omar, asisten profesor teologi dan peneliti studi Islam pada Universitas Notre Dame, Indiana, hakikat doa macam ini juga menjadi hakikat doa dalam tradisi Islam. Menurut kedua sarjana Islam itu,

tidaklah benar anggapan bahwa Islam lebih menekankan tata cara doa sebagai praktik formalitas doa belaka, hingga doa itu tak bisa membawa transformasi moral bagi pelakunya. Sarjana-sarjana Islam modern menentang keras anggapan itu dengan berusaha menunjukkan adanya makna sosial dalam doa Islam.
Sirry dan Omar sendiri mengemukakan pendapatnya dengan bertolak dari ayat Al Quran 29:45: ”Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan- perbuatan keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya daripada ibadat-ibadat lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Menurut kedua sarjana Islam di atas, berabad-abad lamanya sejak adanya agama Islam, raison d’être dari doa Islam adalah menjauhi fasha (ketidaksenonohan, ketidaklaziman, kekejian) dan mungkar. Selain Al Quran dan hadis, banyak kisah dan telaah yang menegaskan hakikat doa demikian itu. Misalnya, ada kisah di mana seorang pemuda dari Madinah berdoa bersama Nabi Muhammad. Toh, pemuda itu tetap melakukan perbuatan yang salah dan tidak pantas. Nabi Muhammad hanya menanggapi hal itu dengan kata-kata ini: ”Doanya akan mencegah dia untuk melakukan perbuatan yang tidak pantas.” Nabi juga pernah ditanya, ”Apakah pendapat Anda tentang seseorang yang berdoa di siang hari, tapi menjadi pencuri di malam hari?” Nabi kembali menjawab, ”Doanya akan menahan dia untuk berbuat yang tidak baik.”
Tampaknya Nabi Muhammad yakin, doa pasti mengubah seseorang. Jika orang tidak diubah oleh doanya, doanyalah yang kiranya kurang benar. Karena itu, doa atau shalat tidak dengan sendirinya mencegah orang untuk berbuat fasha dan mungkar. Kemungkaran itu baru bisa dicegah apabila doa itu dijalankan dengan benar, penuh komitmen, kejujuran, ketulusan, dan kepasrahan bahwa Allah akan membantu manusia dalam memperjuangkan kebaikan dan memberantas kejahatan.

Kata ahli tafsir Al Quran, Muhammad Husyan Tabatabai, jika shalat dijalankan dengan komitmen dan kejujuran, lebih dari institusi atau pengajar mana pun, shalat sendirilah yang akan melatih orang dengan lebih baik untuk menjalankan kebajikan dan menolak kejahatan. Ini dibenarkan oleh hadis yang berkata, orang yang doanya tak mencegah dia melakukan ketidaklaziman dan kesalahan tak akan memperoleh tambahan dari Tuhan; ia hanya akan makin jauh dari-Nya.

Menegur pemimpin

Hamzah Haz yang juga sesepuh PPP itu bicara soal doa karena gemas terhadap kondisi moral bangsa yang terus merosot. Setiap warga negara Indonesia kiranya juga gemas seperti dia. Kita adalah negara ber-Tuhan dan beragama. Mestinya kita juga warga negara yang pendoa. Memang, setiap hari Jumat masjid-masjid penuh, setiap hari Minggu gereja-gereja penuh, pada hari-hari raya agama umat berbondong- bondong berdoa dengan khusyuk. Tetapi mengapa korupsi merajalela, meracuni lembaga mana pun, eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pejabat-pejabat mengkhianati kepercayaan rakyat dan kehilangan rasa malunya.

Mengapa doa tidak berefek bagi kebaikan moral bangsa? Dari penjelajahan singkat mengenai tradisi doa di atas, kita bisa menjawab: doa kita mandul karena terpisah dari masalah-masalah etika, sosial, dan moral yang dihadapi bangsa. Doa melulu menjadi praktik formal-ritual yang tidak bersentuhan dengan permasalahan masyarakat. Doa hanya menjadi kesalehan yang steril terhadap masalah sosial.

Dalam doa macam itu kita menemukan kenyamanan dan kemapanan, dan kehilangan kepedulian sosial. Lebih fatal lagi, doa macam ini membuat kita munafik, seakan-akan kita sudah menjadi baik karena sudah berdoa, tanpa ingin memberantas kemungkaran yang ada di sekitar kita. Doa tak lagi memberi kita kekuatan dan inspirasi untuk menggugat dan mendobrak segala bentuk represi yang menimpa banyak orang, lebih-lebih mereka yang miskin dan sederhana.

Mengapa kita sampai terjerumus ke dalam keadaan demikian? Doa memang bersifat pribadi. Tetapi kita tahu, penghayatan kita terhadap doa juga tergantung pada para pemuka umat, pemimpin jemaat, imam, ustaz, kiai, pendeta, atau pastor. Dari mereka-mereka itulah kita belajar berdoa. Karena itu merekalah yang paling berkewajiban mengajari kita bagaimana berdoa dengan benar.

Misalnya, dengan mendalami lagi tradisi doa yang diajarkan Al Quran dan Kitab Suci, di mana Tuhan menghendaki agar jika berdoa janganlah kita melepaskan diri dari masalah kemanusiaan, masalah sosial, lebih-lebih masalah mereka yang miskin dan menderita. Kalau itu tidak dilakukan, patutlah kita curiga, para petinggi doa itu diam-diam sedang menikmati kemapanan, dan mendukung penguasa yang benci terhadap kekuatan doa yang memberi inspirasi orang untuk menggugat dan mendobraknya. Kita mendengar, calon presiden dari PDI Perjuangan, Jokowi, bercita- cita mengadakan revolusi mental. Revolusi mental itu kiranya akan makin efektif jika disertai revolusi doa. Artinya, bagaimana doa kita dilepaskan dari sangkar keamanan dan kemapanan individualnya, dibebaskan dari kepentingan untuk membenarkan kelompok-kelompok tertentu saja hingga menjadi eksklusif terhadap kepentingan seluruh bangsa. Revolusi doa itu kiranya perlu membangunkan kesadaran moral, sosial, dan etika dalam doa yang dihayati warga negara.

Untuk itu, revolusi mental dan doa itu kiranya harus dimulai dari para pemimpin bangsa. Sebab, seperti dikatakan Hassan al-Banna, pendiri Persaudaraan Muslim di Mesir, paling tidak dalam tradisi Islam, doa itu seperti latihan harian dalam organisasi sosial dan praktis. Begitu muazin menyerukan doa dimulai, umat berkumpul, mereka punya hak dan kewajiban sama, tetapi mereka berdiri di belakang imam yang mengatur ketertiban dan kesatuan mereka. Imam itu pemimpin. Kalau ia salah dalam memimpin, umat berhak dan wajib menegurnya. Itulah demokrasi dalam doa. Para pemimpin kita ibarat imam itu. Kalau mereka salah berdoa, kita pun ikut salah dalam doa kita. Jangan-jangan inilah sebabnya mengapa kita terjerumus ke dalam kemerosotan moral, yakni karena para pemimpin kita tidak pernah berdoa, agar kekuasaannya digunakan untuk melayani rakyat dan tidak untuk memperkaya diri sendiri. Kalau demikian, doa dan mental merekalah yang terlebih dahulu harus direvolusi. Memang bisa-bisa kemungkaran yang harus dibongkar oleh doa dari bangsa ini adalah mental busuk, egois, dan korup para pemimpin bangsa kita sendiri.

Revolusi Mental

INDONESIA saat ini menghadapi suatu paradoks pelik yang menuntut jawaban dari para pemimpin nasional. Setelah 16 tahun melaksanakan reformasi, kenapa masyarakat kita bertambah resah dan bukannya tambah bahagia, atau dalam istilah anak muda sekarang semakin galau?
Dipimpin bergantian oleh empat presiden antara 1998 dan 2014, mulai dari BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia telah mencatat sejumlah kemajuan di bidang ekonomi dan politik. Mereka memimpin di bawah bendera reformasi yang didukung oleh pemerintahan yang dipilih rakyat melalui proses yang demokratis.

Ekonomi semakin berkembang dan masyarakat banyak yang bertambah makmur. Bank Dunia bulan Mei ini mengatakan ekonomi Indonesia sudah masuk 10 besar dunia, jauh lebih awal dari perkiraan pemerintah SBY yang memprediksi baru terjadi tahun 2025. Di bidang politik, masyarakat sudah banyak menikmati kebebasan serta hak-haknya dibandingkan sebelumnya, termasuk di antaranya melakukan pergantian pemimpinnya secara periodik melalui pemilu yang demokratis.

Namun, di sisi lain, kita melihat dan merasakan kegalauan masyarakat seperti yang dapat kita saksikan melalui protes di jalan-jalan di kota besar dan kecil dan juga di ruang publik lainnya, termasuk media massa dan media sosial. Gejala apa ini?
Pemimpin nasional dan pemikir di Indonesia bingung menjelaskan fenomena bagaimana keresahan dan kemarahan masyarakat justru merebak. Sementara, oleh dunia, Indonesia dijadikan model keberhasilan reformasi yang menghantarkan kebebasan politik serta demokrasi bersama pembangunan ekonomi bagi masyarakatnya.

Izinkan saya melalui tulisan singkat ini menyampaikan pandangan saya menguraikan permasalahan bangsa ini dan menawarkan paradigma baru untuk bersama mengatasinya. Saya bukan ahli politik atau pembangunan. Untuk itu, pandangan ini banyak berdasarkan pengamatan dan pengalaman saya selama ini, baik sebagai Wali Kota Surakarta maupun Gubernur DKI Jakarta. Oleh karena itu, keterbatasan dalam pandangan ini mohon dimaklumi.

Sebatas kelembagaan

Reformasi yang dilaksanakan di Indonesia sejak tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto tahun 1998 baru sebatas melakukan perombakan yang sifatnya institusional. Ia belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik kita dalam rangka pembangunan bangsa (nation building). Agar perubahan benar-benar bermakna dan berkesinambungan, dan sesuai dengan cita-cita Proklamasi Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur, kita perlu melakukan revolusi mental.

Nation building tidak mungkin maju kalau sekadar mengandalkan perombakan institusional tanpa melakukan perombakan manusianya atau sifat mereka yang menjalankan sistem ini. Sehebat apa pun kelembagaan yang kita ciptakan, selama ia ditangani oleh manusia dengan salah kaprah tidak akan membawa kesejahteraan.
Sejarah Indonesia merdeka penuh dengan contoh di mana salah pengelolaan (mismanagement) negara telah membawa bencana besar nasional.

Kita melakukan amandemen atas UUD 1945. Kita membentuk sejumlah komisi independen (termasuk KPK). Kita melaksanakan otonomi daerah. Dan, kita telah banyak memperbaiki sejumlah undang-undang nasional dan daerah. Kita juga sudah melaksanakan pemilu secara berkala di tingkat nasional/daerah. Kesemuanya ditujukan dalam rangka perbaikan pengelolaan negara yang demokratis dan akuntabel.

Namun, di saat yang sama, sejumlah tradisi atau budaya yang tumbuh subur dan berkembang di alam represif Orde Baru masih berlangsung sampai sekarang, mulai dari korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, dan sifat kerakusan, sampai sifat ingin menang sendiri, kecenderungan menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum, dan sifat oportunis. Kesemuanya ini masih berlangsung, dan beberapa di antaranya bahkan semakin merajalela, di alam Indonesia yang katanya lebih reformis.

Korupsi menjadi faktor utama yang membawa bangsa ini ke ambang kebangkrutan ekonomi di tahun 1998 sehingga Indonesia harus menerima suntikan dari Dana Moneter Internasional (IMF) yang harus ditebus oleh bangsa ini dengan harga diri kita. Terlepas dari sepak terjang dan kerja keras KPK mengejar koruptor, praktik korupsi sekarang masih berlangsung, malah ada gejala semakin luas.

Demikian juga sifat intoleransi yang tumbuh subur di tengah kebebasan yang dinikmati masyarakat. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi yang pesat malah memacu sifat kerakusan dan keinginan sebagian masyarakat untuk cepat kaya sehingga menghalalkan segala cara, termasuk pelanggaran hukum.
Jelas reformasi, yang hanya menyentuh faktor kelembagaan negara, tidak akan cukup untuk menghantarkan Indonesia ke arah cita-cita bangsa seperti diproklamasikan oleh para pendiri bangsa. Apabila kita gagal melakukan perubahan dan memberantas praktik korupsi, intoleransi, kerakusan, keinginan cepat kaya secara instan, pelecehan hukum, dan sikap oportunis, semua keberhasilan reformasi ini segera lenyap bersama kehancuran bangsa.

Perlu revolusi mental

Dalam pembangunan bangsa, saat ini kita cenderung menerapkan prinsip-prinsip paham liberalisme yang jelas tidak sesuai dan kontradiktif dengan nilai, budaya, dan karakter bangsa Indonesia. Sudah saatnya Indonesia melakukan tindakan korektif, tidak dengan menghentikan proses reformasi yang sudah berjalan, tetapi dengan mencanangkan revolusi mental menciptakan paradigma, budaya politik, dan pendekatan nation building baru yang lebih manusiawi, sesuai dengan budaya Nusantara, bersahaja, dan berkesinambungan.

Penggunaan istilah ”revolusi” tidak berlebihan. Sebab, Indonesia memerlukan suatu terobosan budaya politik untuk memberantas setuntas-tuntasnya segala praktik- praktik yang buruk yang sudah terlalu lama dibiarkan tumbuh kembang sejak zaman Orde Baru sampai sekarang. Revolusi mental beda dengan revolusi fisik karena ia tidak memerlukan pertumpahan darah. Namun, usaha ini tetap memerlukan dukungan moril dan spiritual serta komitmen dalam diri seorang pemimpin—dan selayaknya setiap revolusi—diperlukan pengorbanan oleh masyarakat.

Dalam melaksanakan revolusi mental, kita dapat menggunakan konsep Trisakti yang pernah diutarakan Bung Karno dalam pidatonya tahun 1963 dengan tiga pilarnya, ”Indonesia yang berdaulat secara politik”, ”Indonesia yang mandiri secara ekonomi”, dan ”Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya”. Terus terang kita banyak mendapat masukan dari diskusi dengan berbagai tokoh nasional tentang relevansi dan kontektualisasi konsep Trisakti Bung Karno ini.

Kedaulatan rakyat sesuai dengan amanat sila keempat Pancasila haruslah ditegakkan di Bumi kita ini. Negara dan pemerintahan yang terpilih melalui pemilihan yang demokratis harus benar-benar bekerja bagi rakyat dan bukan bagi segelintir golongan kecil. Kita harus menciptakan sebuah sistem politik yang akuntabel, bersih dari praktik korupsi dan tindakan intimidasi.

Semaraknya politik uang dalam proses pemilu sedikit banyak memengaruhi kualitas dan integritas dari mereka yang dipilih sebagai wakil rakyat. Kita perlu memperbaiki cara kita merekrut pemain politik, yang lebih mengandalkan keterampilan dan rekam jejak ketimbang kekayaan atau kedekatan mereka dengan pengambil keputusan.

Kita juga memerlukan birokrasi yang bersih, andal, dan kapabel, yang benar-benar bekerja melayani kepentingan rakyat dan mendukung pekerjaan pemerintah yang terpilih. Demikian juga dengan penegakan hukum, yang penting demi menegakkan wibawa pemerintah dan negara, menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum. Tidak kalah pentingnya dalam rangka penegakan kedaulatan politik adalah peran TNI yang kuat dan terlatih untuk menjaga kesatuan dan integritas teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Di bidang ekonomi, Indonesia harus berusaha melepaskan diri dari ketergantungan yang mendalam pada investasi/modal/bantuan dan teknologi luar negeri dan juga pemenuhan kebutuhan makanan dan bahan pokok lainnya dari impor. Kebijakan ekonomi liberal yang sekadar mengedepankan kekuatan pasar telah menjebak Indonesia sehingga menggantung pada modal asing. Sementara sumber daya alam dikuras oleh perusahaan multinasional bersama para ”komprador” Indonesia-nya.

Reformasi 16 tahun tidak banyak membawa perubahan dalam cara kita mengelola ekonomi. Pemerintah dengan gampang membuka keran impor untuk bahan makanan dan kebutuhan lain. Banyak elite politik kita terjebak menjadi pemburu rente sebagai jalan pintas yang diambil yang tidak memikirkan konsekuensi terhadap petani di Indonesia. Ironis kalau Indonesia dengan kekayaan alamnya masih mengandalkan impor pangan. Indonesia secara ekonomi seharusnya dapat berdiri di atas kaki sendiri, sesuai dengan amanat Trisakti. Ketahanan pangan dan ketahanan energi merupakan dua hal yang sudah tidak dapat ditawar lagi. Indonesia harus segera mengarah ke sana dengan program dan jadwal yang jelas dan terukur. Di luar kedua sektor ini, Indonesia tetap akan mengandalkan kegiatan ekspor dan impor untuk menggerakkan roda ekonomi.

Kita juga perlu meneliti ulang kebijakan investasi luar negeri yang angkanya mencapai tingkat rekor beberapa tahun terakhir ini karena ternyata sebagian besar investasi diarahkan ke sektor ekstraktif yang padat modal, tidak menciptakan banyak lapangan kerja, tetapi mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya.
Pilar ketiga Trisakti adalah membangun kepribadian sosial dan budaya Indonesia. Sifat ke-Indonesia-an semakin pudar karena derasnya tarikan arus globalisasi dan dampak dari revolusi teknologi komunikasi selama 20 tahun terakhir. Indonesia tidak boleh membiarkan bangsanya larut dengan arus budaya yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa kita.

Sistem pendidikan harus diarahkan untuk membantu membangun identitas bangsa Indonesia yang berbudaya dan beradab, yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral agama yang hidup di negara ini. Akses ke pendidikan dan layanan kesehatan masyarakat yang terprogram, terarah, dan tepat sasaran oleh nagara dapat membantu kita membangun kepribadian sosial dan budaya Indonesia.

Dari mana kita mulai

Kalau bisa disepakati bahwa Indonesia perlu melakukan revolusi mental, pertanyaan berikutnya adalah dari mana kita harus memulainya. Jawabannya dari masing- masing kita sendiri, dimulai dengan lingkungan keluarga dan lingkungan tempat tinggal serta lingkungan kerja dan kemudian meluas menjadi lingkungan kota dan lingkungan negara.
Revolusi mental harus menjadi sebuah gerakan nasional. Usaha kita bersama untuk mengubah nasib Indonesia menjadi bangsa yang benar-benar merdeka, adil, dan makmur. Kita harus berani mengendalikan masa depan bangsa kita sendiri dengan restu Allah SWT. Sebab, sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib suatu bangsa kecuali bangsa itu mengubah apa yang ada pada diri mereka.
Saya sudah memulai gerakan ini ketika memimpin Kota Surakarta dan sejak 2012 sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sejumlah teman yang sepaham juga sudah memulai gerakan ini di daerahnya masing-masing. Insya Allah, usaha ini dapat berkembang semakin meluas sehingga nanti benar-benar menjadi sebuah gerakan nasional seperti yang diamanatkan oleh Bung Karno, memang revolusi belum selesai. Revolusi Mental Indonesia baru saja dimulai.

READ MORE - REVOLUSI DOA DAN REVOLUSI MENTAL

Senin, 19 Mei 2014

MESIN HARAPAN PETANI MADE IN MILIR

OLEH
Dahlan Iskan  ; Menteri BUMN
JAWA POS,  19 Mei 2014




images
Saya sampai harus belajar dari buaya. Itu kata Agus Zamroni, pengusaha kecil dari Desa Mlilir, Ponorogo. Dia seorang sarjana hukum. Bukan sarjana teknik. Juga bukan sarjana pertanian. Tapi, kegigihannya menciptakan mesin pemanen padi tidak ada duanya.
Sebagai orang desa, Agus hidup dari pertanian. Khususnya padi. Sebagai petani besar, Agus merasakan sulitnya mencari tenaga untuk panen. Kian tahun kian sangat sulitnya. Kesulitan yang sama sebenarnya juga dialami petani tebu: kian sulit cari tenaga penebang tebu.

Sebagai generasi muda, Agus terus mempelajari mesin-mesin panen buatan Jepang dan Tiongkok. "Masak bikin begini saja tidak bisa," pikirnya. Agus terus mencoba dan mencoba. Saya menyemangatinya dengan iming-iming bahwa mesinnya itu, kalau sudah jadi, akan dibeli BUMN. Saya yakin dia sangat serius. Usaha taninya serius. Usahanya sebagai penyalur pupuk juga serius. Orang yang sudah membuktikan bisa serius dalam menangani satu bidang juga akan serius di bidang berikutnya. Karena itu, saya percaya dia tidak main-main.

Dan ternyata benar. Agus berhasil. Lahirlah mesin panen generasi pertama. Dia beri merek Zaaga (diambil dari namanya).

Mesin itu benar-benar bisa digunakan. Tentu masih banyak kekurangan. Masih banyak gabah yang berceceran di luar karung penampung.
Tapi, Agus tidak menyerah. Penyempurnaan terus dilakukan. Saya terus menjanjikan bahwa BUMN akan membeli hasilnya. Lahirlah generasi kedua. Sudah bisa dibilang sangat baik. BUMN membelinya. Dihadiahkan kepada kelompok tani.

Hasilnya bagus. Banyak yang tertarik. Agus sendiri kian percaya diri. Agus berani mengundang saya untuk melihat penggunaan mesin Zaaga generasi kedua itu.
Maka, pada musim panen yang lalu saya memenuhi permintaannya untuk pergi ke Mlilir. Saya berdebar-debar. Ngeri-ngeri sedap, istilah politisinya. Benarkah mesin panen ciptaan anak bangsa itu bisa berfungsi di lapangan.

Ternyata benar-benar berhasil!

Tentu saya sangat senang. Kelompok-kelompok tani juga mulai percaya. Mesin itu terjual laris. Sehari Agus bisa memproduksi dua unit. Luar biasa. Pabriknya yang berada di Mlilir menjadi sangat sibuk.
Sampailah pada suatu pagi yang mengagetkan Agus kedatangan tamu yang membawa beking. Tamu itu marah-marah berat. Agus akan dihajar. Agus dianggap menipu. Mesin panen itu, katanya, tidak bisa digunakan.

Setelah terjadi dialog, diketahuilah bahwa panen itu dilakukan di sawah yang berlumpur dalam. Mesinnya tidak bisa jalan. Rodanya ambles.
Agus merasa kiamat. Setiap menceritakan itu, Agus berlinang air mata. Dia merasa terpukul. Dia sanggupi mengganti uang sang tamu.
Tapi, kegalauannya bukan di soal ganti rugi. Melainkan di kegagalannya itu sendiri. Saat berlinang air mata itulah pikirannya tiba-tiba melayang ke buaya. Kok tangan buaya tidak tenggelam saat merayap di medan berlumpur.

Agus lantas pergi ke berbagai tempat yang ada buayanya. Dia amati. Sebagai orang yang bukan berlatar teknik mesin (tapi dia pernah kursus teknik di bengkel Mercedes-Benz), Agus mendapat ide dari buaya itu.
Maka, dia rancang roda yang berbeda. Yang jarak antargigi lebih lebar. Berhasil. Inilah mesin panen generasi ketiga made in Mlilir.

Minggu lalu saya pergi ke sana lagi. Melihat pabriknya. Juga melihat roda untuk Zaaga generasi baru itu. Teknologi panen sudah bisa dikuasai anak negeri sendiri. Tentu saya juga berharap produsen lainnya, seperti Futata, terus mengembangkan diri.

Saya masih titip satu misi lagi untuk Agus: ciptakan mesin tanam padi. Pesan yang sama juga saya sampaikan saat berdialog dengan mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Malang Sabtu lalu.

"Siapa yang berkeinginan menciptakan mesin tanam?" tanya saya di depan sekitar seribu mahasiswa.

Mesin tanam sangat penting karena saat ini mencari buruh tanam juga amat sulit. Jadwal tanam bisa mundur sampai satu minggu gara-gara belum mendapat buruh tanam. Itu sangat mengganggu produksi beras.
Lima mahasiswa angkat tangan. Cukup banyak. Satu per satu saya minta untuk menceritakan gagasan masing-masing.
Seorang mahasiswi menceritakannya sambil menahan tangis. "Saya sangat ingin menciptakannya demi bapak saya," katanya.
"Bapak saya tiap hari dihina nenek saya karena bapak saya hanya bisa bertani," katanya. Air matanya tak terbendung lagi. Satu ruangan besar ikut terharu.
Tentu mereka akan bisa. Agus yang pendidikan dasarnya madrasah ibtidaiyah dan pendidikan tingginya di Fakultas Hukum Universitas Merdeka Madiun saja bisa. 

Asal mau, kita bisa!  ●

READ MORE - MESIN HARAPAN PETANI MADE IN MILIR

Minggu, 16 Juni 2013

Improving The Performance Of Local Employees Through Introducing Performance Management In The Local Government Of Kupang, West Timor Province

Selfi Liu-Nange,S.Sos, M.Si, M.Pub.Pol
Purna Praja STPDN Angkt.VI

Submitted to: Regent of Kupang District, West Timor Province
 
BACKGROUND
Local government employees have the responsibility to deliver services to those living in rural areas. A recent study of the World Bank highlighted that poor performance of local government employees has hindered service delivery post decentralization (World Bank 2007). Furthermore the increase in authority has not matched with the human capacity for effective service delivery.
There are few determinant factors to the poor performance of local employees in Kupang
District. First, is recruitment and promotion of public servants have been based on patronage and seniority. Incapable and unprofessional public servants get employed due to the unfairness in the recruitment process as well as nepotism. According to McCart (2004, p.4), public sector should employ capable and professional persons so that public sector can deliver best service to the public. Secondly, public servants’ salaries are very low. Ivancevch & Matteson (2002, p.9) highlighted that money is a major factor for rewarding and altering behaviour. Financial rewards have a direct link to performance if the employees are to be motivated. With low salary, the employees are discouraged to work. Lastly, some of public servants in local government have low motivation, low level of innovation and creativity. This is due to the fact that there is no clear job description and overlaps in various levels of jobs so that the employees do not pay attention to particular job. As a result, public servants just come to workplace and waste time reading newspapers and gossiping with workmates. However, this does not affect their salary because whether or not they perform their duties, in the beginning of each month, all employees get the same amount of money.
 
PROPOSED REFORM AND ITS OBJECTIVE
In addressing the current performance issue suffered from the local employees in Kupang District, it is recommended that performance management system be applied in the local government of Kupang for the purpose of improving local employees’ performance towards the achievement of organizational service unit objectives and goals. It can also be argued that the introduction of decentralization policy by devolving power and authority to local governments in Indonesia should be followed by the implementation of management reform in order to meet the decentralization policy objectives.
 
ANALYSIS
Performance management has been adopted by many countries around the world. It is an essential tool to deal with performance issue of public service agencies. For example, performance management has been applied as the main strategy by all Australian Public Service agencies through ‘linking and aligning individual, team and organizational objectives and results’ (MAC 2001, P.14). It serves as an effective means to enhance individual performance, linking to organizational performance. It also provides a means to recognize, give reward for good performance and to manage under performance.
In order to make performance management an effective tool, it requires a framework that effectively integrates organizational, business and individual planning and performance. For this reason, the performance management to be applied by the Local Government of Kupang should include three key issues, namely recruitment and promotion, periodic performance appraisal of individuals towards the achievement of organizational objectives, and recognition or reward for performance.

Figure 1. Performance Management reform stages
tabel ka selfi
 
Recruitment and promotion of local employees
The recruitment and promotion process of local employees is crucial to ensure the capability of local government in service delivery for community. As mentioned by Tjiptoherijanto (2005, p.6) ‘human resource development for government officer is started since the recruitment stage until the end of their services as a government officer’. The process consists of identifying a particular required job, job analysis and job description, and scoring scheme or assessment based on candidates specification.
The current practice of recruitment and promotion has been associated with the abuse of power of local government. The recruitment of new local employees is characterized by nepotism, bribery, and ‘sons of the region’ (Turner and Podger 2003, p.107). In addition, local media often points out that the head of local government usually employ their followers to strategic positions or managers’ positions thus disregarding their competencies. This undermines the capacity of local government to perform its responsibilities.
Recruitment and promotion of local employees should be based on merit system and not patronage. The reason why the patronage system is bad is because it has negative impacts on performance. This system prioritizes those who have good relationship with decision makers without considering their capabilities and professionalism. McCourt (2004, p.2) says that, ‘…where officials employ friends, relatives, political supporters and so on into public jobs which, without the official’s influence, they would not obtain’. To overcome this, the merit system should be applied in recruitment process. It provides the best ability of public servants to deliver the best quality to the public. Moreover, by applying merit system, the local government will attract capable and talented persons.
In the context of merit system, the recruitment process should also be competitive. Halligan (2004, p.73) contends that, ‘The move to institute centralized personnel arrangements in the colonies derived from the lack of uniform rules and the prevalence of patronage in recruitment. New legislation provided for independent control of the public service, open competition for entrants, promotion by merit, grading and classification of all personnel, and salary based on work value. A pattern emerged for the public services, with three main features; a centralized board or commissioner, recruitment to the base grade by open competition and a career service’. The competition in recruitment may give fairness and same chance to all candidates to be a public servant. Schmidt and Hunter argue that the fair competition gives the same chance to be pubic servants and tend to control public confidence (p.19). In addition Tjiptoherijanto (2005, p.6) mentions that ‘the recruitment process has been conducted fairly and openly so that the government could get the best applicants as many as possible’.
To support the success of the merit system, this paper would suggest contracting out to be adopted in local government. Contracting out aims to increase efficiency and allows patronage to be removed (Kjaer, AM 2004. pp.25-26). Efficiency can be measured by timing and cost needed in process of recruitment. Kjaer mentioned that contracting out is one of elements in the New Public Management (NPM) reforms which enhances public service efficiency (Kjaer, AM 2004, p.24). In terms of efficiency, there are eight stages that should be applied in process of recruitment
- a job analysis; a written statement of job description and the knowledge and skills of jobholder (the person specification)
- an advertisement
- a standard application form
- a scoring scheme based on the person specification
- a short listing procedure
- a final selection procedure based on the person specification and panel interview
- an appointment procedure based on the scoring scheme
- notification of results to both successful and unsuccessful candidates (McCourt 2004, pp.10-11).
Clear criteria, capability and specification, and transparency are critical requirements of recruitment of public servant. At this point, competition becomes more important since each candidate has their own capability and skills. Halligan (2004, p.73) contended that competition for entrants may create fairness between of candidates. Willy (2004, p.4) also highlighted that most capable person will be employed through competition. In addition, local government should spread the information of recruitment of public servant in local media. This is part of transparency in the recruitment. By advertising, people will have same access and chance to apply and compete.
In dealing with promotion, the local government of Kupang should adopt merit based promotion then patronage or seniority base. Seniority based promotion is inefficiency and there are no incentives for self-improvement and effort (Schiavo-campo & Sundaran 2000, p.5). Those who serve longer will be the first to be promoted than other employees. Martinez J & Martineau T (2001, p.6) mentioned that in merit system, there is clear promotion criteria and mechanisms. This system stimulates motivation of employees and their work commitment. Not only senior but also junior staff will do their best based on their own capability. Furthermore, fair competition and professionalism will take place amongst employees. Utilising this system will see the local government benefiting from improvements in knowledge and skill, motivation and commitment of employees.
 
Periodic Performance Assessment (Monitoring and Evaluation)
Periodic performance assessment is an essential part in measuring the performance of public servants. For example, performance management in New Zealand emphasizes the importance of conducting periodic performance assessment in measuring the efficiency and effectiveness of public servant in delivering service to the public (Richard & Robert 2003, p.43). The most important thing is to have a clear understanding of the objectives of a program in certain jobs (Behn 2003, pp. 588-589). In broad sense, these activities aim to assess the progress toward organizational goals.
Martinez J & Martineau T (2001, p.23) contended that monitoring and evaluation need to be conducted once a year to measure the performance of public servants based on certain objectives. This is due to the fact that performance or program objectives sometimes change because of the changes in the overall government policy. Therefore, monitoring and evaluation is recommended to be conducted regularly or once in three months. Another important point that was mentioned by Martinez and Martineau is that a leader or manager responsible for assessing the performance of staff has to involve various elements such as community, NGO, and academia. The main reason for including these organisations is for transparency reasons and avoiding unfairness in performance due to political interest and nepotism.
The most efficient way in doing assessment is to spread questionnaire forms to all elements, such as members of community, NGOs, academics from universities. The questions should be made as simple as possible so that the assessor can easily understand and also avoid time consuming, that is, not so difficult that the assessors will take a long time to deliberate on. These forms need be collected in no more than one week.
Getting feedback from people who assess employees’ performances is significant in that it can improve progression and performance. Regarding this, the government could invite a small member of customers to get information about their experiences with certain service, how they would rate the service on various characteristics, and what are their suggestions for improvement (Anwar 2000, p.26). In addition, Anwar has mentioned that, ‘customer surveys can provide various types of information of outcome measurement, including; rating from citizens of overall satisfaction with individual public services and timeliness of delivery’ (2000, p.27).This method, that is, getting feedback, is important as far as the performance assessment is concerned. Without appropriate feedback, the employees cannot adjust their weaknesses to better achieve organisation’s objectives. Therefore, assessor professionalism becomes a main factor in adjusting and enhancing performance itself in which feedback should refer to the success of achieving outcomes.
In response to poor performance, local government should conduct training. Training and development will be designed and linked to certain functions relating to their strategic plans for regional development and service delivery. For instance, training for computerisation, leadership, communication, performance based budget and so forth. The training can enhance employees’ capacity and skills. An improvement on individual capacity indirectly improves an organizational performance. In other words, training can provide local employees the knowledge and skills which are needed in local government institutions.
Another way to improve the poor performance is to deal with under performance. The local government of Kupang can conduct counseling to manage under performance. The local government should build a counseling centre in the office which consists of those who have capability in psychology. It is the fact that most of causes of poor performance are high workload at workplace, under pressure of demands of family. These problems are related to employees themselves who cannot control and manage their stress. Therefore, consultation and sharing with other people will reduce stress and problems will be solved so that employees can work effectively.
 
Reward or recognition for performance (Performance Related Pay)
Performance related pay should be applied in the Local Government of Kupang for these reasons; first, performance related pay recognizes and rewards local government employees by improving their performance; second, performance related pay will generate motivation and commitment for employees to do their best and achieve organization’s objectives. Indeed, few studies on OECD Countries confirm that the introduction of performance related pay in public sector has resulted in improving employees’ motivation and signaling employees’ commitment to organizations (OECD 1997).
In applying performance related pay, the local government should establish clear performance indicators which link individual performance to organizational service unit objectives. The indicators should meet several criteria, namely, Specific, Measurable, Achievable, Reliable and Timely. By developing clear indicators, the local government can easily conduct evaluation of employees’ performance in a formal manner.
In relation to developing indicators of performance assessment, it is highly recommended that the local government should outsource it to private sectors including local universities and Non Government Organizations. The outsourcing of performance assessment will bring benefits to local governments. These include cost reduction in public services provision, introducing competition into system of delivering services and the government being the facilitator rather than a providing system (Minogue, M 1998, p.19-29).
A pay related promotion (PRD) system should be implemented (Martinez J & Martineau T, 2001, p.7). This motivates employees, increase accountability and recognises effort and achievement (p.13). It maybe is difficult to measure accountability. However, (Martinez J & Martineau T, 2001, p.14) argued that accountability can be measured by conducting surveys to know customer satisfactory. Regarding the efficiency, this method is easy and simple to be conducted and low cost.
 
Conclusion
In addressing poor performance of local employees in Kupang Regency, this paper recommends the head of Kupang Regency to apply performance management. This will serve as a means to an end. It has proved to be an effective tool which links employees to meet organization objectives. Performance management includes three critical issues, namely, recruitment and promotion based on merit, conducting monitoring and evaluation on regular basis and performance related pay.
In applying those issues above, it is recommended that the local government of Kupang should involve private sectors through outsourcing or contracting out. For example, developing performance assessment indicator and conducting monitoring and evaluation is best conducted by private sectors.
 

Reference
Badan Kepegawaian Nasional, 2005, Tabel 2A: ‘Jumlah Pegawai Negeri Sipil dirinci menurut kelompok dan jenis kelamin keadaan dasar Desember 2005’, viewed 30 September 2008 <hhtp://www.bkn.gov.id/stat_indo/tabelind2.html>
Behn, RD 2003, ‘Why measure performance? Different purposes require different measures’, Public administration review, vol. 63, no. 5.

Davis, G & Rhodes, RAW 2000, ‘From hierarchy to contracts and back again: reforming the Australian public service’, in M Keating, J Wanna & P Weller (eds), Institutions on the edge? Capacity for governance, Allen & Unwin, St Leonards NSW.
F.L Schmidt & J.E Hunter 2005, Reforming federal hiring-Beyond faster and cheaper, Office of Policy and Evaluation Perpectives, US.
Halligan, J 2004, ‘The Australian public service: redefining the boundaries’, in Halligan J (ed), Civil service systems in Anglo-American countries, Edward Elgar, UK.
Ivancevich J & Matteson M 2002, Organisation behaviour and management, Mc.Graw-Hill, New York.
Kjaer, AM 2004, ‘Governance’, Cambridge: Polity
Marinez, J & Martineau T, 2001, ‘Introducing management in National Health systems issues on policy and implementation’, Liverpool School of Tropical Medicine, Liverpool, UK.
McCourt, W, 2004, ‘Public appointments: from patronage to merit’, Human Resources in Development Group Working Paper Series, Working Paper No.9, Institute for Deveopment Policy and Management, University of Manchester, Precinct Centre, Manchester,UK.
Management Advisory Committee (MAC), 2001. ‘Performance Management in the Australian Public Sector: a strategic framework’, Canberra. www.apsc.gov.au.
Minogue, M 1998, ‘Changing the state: concepts and practice in the reform of the public sector’ in M. Minogue, C. Polidno and D. Hulme (eds), Beyond the New Public Management, UK.
Mokhsen, N, 2005, ‘Reform civil servant instead of raising pay’, The Jakarta post, 30 August.
Norman R & Gregory R 2003, ‘Paradoxes and pendulum swings: Performance management in New Zealand’s public sectors’, Research and Evaluation, Black well Victoria.
Nurulpaik, I 2005, ‘Implikasi kenaikan gaji PNS bagi Guru, Pikiran Rakyat’, 29 August.
Tjiptoherijanto, P, 2005, ‘Civil service reform in Indonesia’, paper presented at Korea conferences, Hanoi Vietnam, October 9-14, 2005.
Triardianto, T 2005, ‘PNS, Tonggak birokrasi yang masih lemah’, Pos Kupang, 25 April.
Organisation for Economic Co-operation and Development 1997, ‘Performance Pay Schemes for Public Sector Managers: an evaluation of the impacts’ Issue 7, viewed 28 September 2008, http://www.oecd.org/document/33/0335_eng.html
OECD 2004, ‘Performance-related pay policies for government employees: Main trends in OECD member countries’, HRM working party meeting, October, 7-8, 2004.
Schiavo-campo, S. and Sundaran, P., 2000. To Serve and To Preserve: improving public administration in competitive world, Asian Development Bank, Manila.
Shah, A 2000 ‘Measuring Government performance in the delivery of public services’, Handbook on public sectors performance review, volume 2, US
Turner, M. and Podger, O 2003, Decentralization in Indonesia: redesigning the state, Asia Pacific Press, the ANU, Canberra.
World Bank, 1996, ‘Performance monitoring indicators’, Washington DC.
READ MORE - Improving The Performance Of Local Employees Through Introducing Performance Management In The Local Government Of Kupang, West Timor Province

Jumat, 31 Mei 2013

Selamat Atas Pelantikan Purna Praja Kota Kupang (II)

Salam Hormat Sambil PPM
Kakz, Dikz, Rekan2 Purna Praja Anggota IKAPTK se-NTT, Pada kesempatan  kali ini IKPTK KOTA KUPANG kembali berbagi berita bahagia nan membanggakan atas dilantiknya sejumlah Purna Praja anggota IKAPTK KOTA KUPANG dalam Jabatan Struktural yang Baru. Berikut Daftar nama Purna dimaksud beserta Pic yang IKAPTK KOTA KUPANG peroleh lewat internet.. (izin kakz, rekan dan dikz fotonya dipublikasikan, moga kakz, rekan dan dikz tidak "kurang hati" dengan foto yg diupload).
Bagi Anggota IKAPTK se-NTT yang belum mengenal Anggota IKAPTK Kota Kupang yang berbahagia, Berikut daftar nama purna praja dimaksud:

1(FILEminimizer)
Achrudin Rudi Abubakar, S.Sos, M.Si. Angkatan II Kabid Pertambangan pd Distamben
kak ernest
Ernest Soleman Ludji, SSTP, M.Si Angkatan IX, Kabid Prasarana pd Din. Kebersihan
vecho(FILEminimizer)Feby R. Koli, SSTP
Angkatan X
Kasi pd Inspektorat
nina lauata(FILEminimizer)Penina A. Lauata, SSTP
Angkatan X
Kasi pd Din. Nakertrans
EMAN(FILEminimizer)Emanuel P. Temaluru, SSTP, M.Si. Angkatan XI Kepala UPTD wilayah Kec. Kelapa Lima pd Dispenkeu neng henukh(FILEminimizer)Julensi Henuk, SSTP
Angkatan XI
Kasubbag pd BKPMD
M.Ishak(FILEminimizer)Muh. Ishak, SSTP
Angkatan XII
Kasubbag Perencanaan & Pelaporan pd Disbudpar
frieds frans(FILEminimizer)Frieds R. Frans, SSTP, MM
Angkatan XII
Kasubbag Kepegawaian pd Badan Ketahanan Pangan
Milthon Tome(FILEminimizer)Milthon R. Thome, SSTP
Angkatan XII
Kasubbid pd Badan Kesbangpol & linmas
UntitledPaskalis T. Tokan, SSTP
Angkatan XII
Kasubbid pd Badan Diklat
abeee(FILEminimizer)Alberth W. Naitboho, SSTP
Angkatan XII
Kasi Pem Kec. Oebobo;
bustaman(FILEminimizer)Bustaman, SSTP
Angkatan XII
Kasi Pem Kec. Kota Lama
Naomi Djobo11(FILEminimizer)(FILEminimizer)Naomi B. Djobo, SSTP
Angkatan XII
Kasubbid pd BPMK
Hengki(FILEminimizer)Hengky C. Malelak, SSTP, M.Si . Angkatan XIII  Kasi Pengadaan Sarana pd Dinas Kebersihan
pommi(FILEminimizer)Pomy N. Odja, SSTP, M.Si
Angkatan XIII
Kasi Gudang pd Din. Kebersihan
nina tiara(FILEminimizer)Elia Carolina Tiara, SSTP
Angkatan XIII 
Kasi Pengawas Pemerintah pd Inspektorat
dedy sumarsono(FILEminimizer)Dedy Sumarsono, SSTP. Angkatan XIV. Kasubbag Pemerintahan Kecamatan& Kelurahan pd Bag. Pemerintahan Setda Kota Kupang 1(FILEminimizer)Froukhe Pascalia Mutiarani Napu, SSTP  Angkatan XV Kasubbag pd Disperindag KK
>>Congratulation buat kakz, rekan dan dikz semua. Tuhan memberkati Karya dan Pengabdiannya.<<<

#Karena keterbatasan data, maka lambang IKAPTK digunakan utk
   menggantikan Foto Purna dimaksud.



READ MORE - Selamat Atas Pelantikan Purna Praja Kota Kupang (II)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...