Günther Grass, pemenang nobel sastra asal Jerman, di dalam novelnya yang berjudul Kopfgeburten menulis kisah yang ironis tentang keluarga. Suami dan istri tinggal bersama, dan mereka hendak memutuskan, apakah mereka akan mempunyai anak atau tidak. Ketika si istri siap, si suami tidak siap. Sebaliknya, ketika si suami siap, justru si istri yang tidak siap. Situasi terus menerus seperti itu, tidak berubah. Akhirnya, mereka memutuskan untuk memelihara kucing.
Tak bisa disangkal lagi, bentuk keluarga kini mulai berubah. Banyak orang menikah dan hidup bersama, walaupun suku dan agama mereka berbeda. Banyak pasangan memiliki pola baru; istri bekerja dan berkarir tinggi, sementara suami menjaga anak di rumah. Perempuan kini tidak lagi sibuk mengurus rumah tangga di rumah, tetapi juga mengambil peran penting di dalam kehidupan publik, baik dalam bidang ekonomi maupun politik. Mengapa ini terjadi, dan bagaimana kita harus bersikap?
Di dalam wawancaranya bersama Tina Ravn dan Mads P. Sørensen, Elisabeth Beck-Gernsheim berusaha melakukan refleksi atas gejala-gejala baru ini. Mayoritas memang terjadi di Eropa. Akan tetapi, pada hemat saya, terutama di kota-kota besar di Indonesia, hal yang serupa juga terjadi. Pola hubungan suami istri berubah, dan peran tradisional yang dulunya dijalankan oleh pria dan wanita kini juga mengalami perubahan pesat.
Masalah dasarnya adalah soal identitas. Apa artinya menjadi suami sekarang ini? Apa artinya menjadi istri sekarang ini? Lebih lanjut lagi, apa artinya menjadi orang tua sekarang ini? Pertanyaan-pertanyaan mendasar tersebut menggugat kemapanan identitas soal peran pria dan wanita yang sudah terbentuk ratusan bahkan ribuan tahun sebelumnya.
Masa lalu
Di masa lalu, makna pernikahan dan keluarga amatlah jelas. Katakanlah, kita memiliki model keluarga ideal, dan semua orang berusaha untuk menciptakan keluarga ideal itu di dalam hidup mereka. Satu orang pria dan satu orang wanita memutuskan untuk menikah, mendapat dukungan keluarga, dan terus hidup bersama, sampai mereka tua, dan meninggal.
Mereka punya anak. Setiap wanita diharapkan untuk melahirkan seorang anak, karena itu adalah perintah agama dan sesuai dengan kodrat wanita. Tidak boleh ada bayi adopsi, apalagi bayi tabung. Inilah keluarga yang ideal, dan, sekali lagi, semua orang berharap memilikinya dalam hidup mereka.
Ada orang-orang yang tidak mengikuti model ideal ini. Namun, mereka bersembunyi, karena tidak mau dicap “aneh” oleh masyarakat. Kaum gay dan lesbian dianggap sebagai orang sakit jiwa, dan mereka dianggap sebagai noda bagi keluarga mereka. Pernikahan tradisional dianggap sebagai sesuatu yang suci. Segala yang bertentangan denganya dianggap sebagai penyakit, atau bahkan dosa. Kata “anak haram” terbentuk dari fakta adanya anak-anak yang lahir dari keluarga yang tidak ideal tersebut.
Namun, dunia sudah berubah. Ide-ide baru lahir, dan mengubah pemahaman manusia tentang diri mereka sendiri, dan tentang peran mereka dalam hidup. Sebagai perbandingan, sebagaimana dinyatakan oleh Beck-Gernsheim, lebih dari 50 persen bayi lahir dari pasangan yang tidak menikah. Di Jerman, mayoritas orang yang tinggal bersama tidaklah memiliki ikatan pernikahan. Ini adalah situasi normal. Bagaimana dengan di Indonesia?
Dengan kata lain, tidak ada satu bentuk ideal keluarga sekarang ini, melainkan banyak model-model keluarga lainnya. “Bentuk keluarga tradisional”, demikian tulis Beck-Gernsheim, “telah kehilangan posisi monopolinya yang ada dahulu; kini adalah beragam ide tentang normalitas yang saling berlomba, dan ada beragam pilihan lain yang dianggap sebagai sah.” (Beck-Gernsheim, 2013) Apa yang dulunya dianggap sebagai dosa dan penyakit jiwa, kini dianggap sebagai sesuatu yang biasa.
Perubahan Peran
Apa akibat dari perubahan ini? Pertama, seperti dijelaskan oleh Beck-Gernsheim, orang-orang yang ingin hidup sendiri, dalam arti tidak memiliki keluarga, kini mendapatkan tempat di masyarakat. Kini, kita bisa dengan mudah menemukan orang berusia 40 tahun ke atas, tetapi belum punya keluarga sendiri, dan itu normal. Dulu, dan masih di beberapa daerah di Indonesia, orang-orang semacam itu dianggap aneh.
Di sisi lain, diskusi dengan debat kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan keluarga. Dulu, setiap orang sadar perannya sebagai suami atau istri. Tak ada diskusi. Tak ada pertanyaan. Namun, kini orang mulai mempertanyakan dan mendefinisikan ulang peran-peran tersebut melalui diskusi dan bahkan perdebatan dengan pasangan mereka, misalnya siapa yang mengantar anak ke sekolah, siapa yang harus menghadiri rapat di sekolah, dan sebagainya.
Diskusi dan debat adalah cara yang baik untuk membuat keputusan. Namun, proses ini tidak selalu berhasil. Diskusi dan debat juga bisa berujung pada konflik, yang akhirnya mengancam keutuhan keluarga itu sendiri. “Semua orang punya pilihan”, demikian tulis Beck-Gernsheim, “namun tidak ada jaminan, bahwa semua orang akan memiliki pilihan yang sama.”
Misalnya, keputusan tentang siapa yang akan menekuni karir di dalam keluarga. Suami dan istri sama-sama berpendidikan tinggi dan memiliki karir cerah ke depannya. Suami berpendapat, bahwa ia yang seharusnya bekerja, dan menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Istri sebaliknya juga berpendapat, bahwa ia juga layak berkarir, karena ia juga berpendidikan dan memiliki kemampuan tinggi. Siapa yang benar dan siapa yang salah? Siapa yang harus mengalah?
Tentu saja, mereka berdua harus berdiskusi. Akan tetapi, ini tentu saja menjadi kemungkinan bagi konflik di dalam keluarga. Peristiwa semacam ini akan terus terjadi, mulai dari hal-hal kecil sampai dengan hal-hal besar. Tanpa kemampuan berdiskusi dan berkompromi yang baik, pernikahan bisa hancur.
Dengan kata lain, menurut Beck-Gernsheim, pilihan memang baik, tetapi ada batasnya, ketika pilihan itu mulai mengundang konflik, dan mengancam kehidupan keluarga. Ketika sebuah pilihan sudah menyentuh atau bahkan menerjang batas-batasnya sendiri, maka ia menjadi kutukan dan beban bagi hidup manusia. Setiap pilihan harus dihayati dan dibuat dengan kesadaran, bahwa pilihan itu terbatas. Bisa dibilang, kesadaran akan tidak adanya pilihan mutlak justru adalah kemungkinan bagi pilihan yang baik di dalam hidup manusia.
Manusia Modern
Di dalam filsafat modern, manusia sebagai individu yang utuh, rasional, dan bebas menjadi pandangan yang berakar dalam di negara-negara Eropa Barat. Melalui proses kolonialisasi (sampai dengan awal abad 20) dan globalisasi (mulai akhir abad 20), pandangan ini tersebar luas ke berbagai negara di dunia. Proses lahir dan berkembangan kesadaran sebagai individu yang utuh, rasional, dan bebas ini bisa juga disebut sebagai proses individualisasi.Proses inilah yang, menurut Beck-Gernsheim, juga menjadi penyebab perubahan nilai-nilai keluarga di abad 21 ini.
Dengan terjadinya proses individualisasi ini, manusia menemukan kebebasan dalam hidupnya. Ia tidak lagi harus tunduk pada tradisi ataupun ajaran moral kultur maupun agama. Ia bisa memilih, bagaimana ia menjalankan hidupnya. Ikatan sosial kultur yang dulunya begitu kuat kini pun mulai kendor, bahkan hilang. Bagi banyak orang, ini bagaikan udara segar yang memberinya kesempatan untuk hidup bahagia, sebagaimana yang diinginkannya, tentu tetap dalam batas-batas tertentu.
Ironisnya, sebagaimana juga diamati oleh Beck-Gernsheim, kebebasan manusia modern ini justru ditopang oleh berbagai institusi-institusi yang dipenuhi dengan aturan. Institusi-institusi itu adalah sekolah, pemerintah, pasar, dan birokrasi pemerintahan. Untuk bisa hidup sesuai dengan visinya, orang perlu untuk sekolah. Untuk bisa memperoleh dan menjual barang untuk mendapat uang, orang perlu ruang, dan itu adalah pasar. Untuk menjaga ketertiban dan keamanan, orang perlu institusi hukum dan pemerintah. Jadi, kebebasan manusia justru ditopang oleh institusi-institusi yang “tidak bebas”.
Misalnya mengenai pajak. Coba baca hukum pajak di Indonesia. Pasti anda bingung bukan? Padahal, pajak memainkan peranan amat penting untuk mendanai berbagai proyek dan kerja institusi masyarakat, yang justru menopang kebebasan manusia. Kebebasan manusia akan selalu terbatas. Akan tetapi, keterbatasan itulah yang justru memungkinkan kebebasan manusia. Inilah paradoks kesadaran modern yang terkait dengan proses individualisasi.
Untuk bisa menjadi orang yang bebas di era modern ini, orang justru harus bisa hidup di antara berbagai aturan yang mengikatnya. Tanpa pemahaman akan aturan-aturan yang mengikatnya ini, ia justru akan menjadi tidak bebas. Di dalam masyarakat tradisional, yang masih bisa kita temukan di berbagai tempat di Indonesia, peran hidup seseorang sudah jelas tertulis dan dijabarkan dalam hukum adat dan hukum agama. Namun, di dalam masyarakat modern, peran hidup seseorang adalah suatu pilihan, dan pilihan hanya mungkin, jika orang memahami betul, apa yang mengikatnya, termasuk juga aturan hukum, kultur, dan agamanya.
Inilah mengapa, manusia modern begitu mudah jatuh ke dalam depresi. Ia harus menentukan sendiri hidupnya, dan bertanggung jawab sendiri, jika semuanya gagal. Ia harus berlomba dengan manusia-manusia lainnya, yang juga bebas, untuk menggapai mimpinya. Kompetisi dengan aturan yang kompleks, inilah yang harus dihadapi oleh manusia modern setiap harinya, tanpa henti, sampai ia mati.
“Dengan demikian”, tulis Beck-Gernsheim, “di balik segala kesempatan dan pilihan yang ada, kita juga menemukan tuntutan baru,.. hambatan baru yang sudah selalu ada di dalam proses individualisasi.” Memang, tidak ada yang gratis di dalam hidup ini. Kebebasan kita pun harus dibayar dengan sesuatu, yakni ikatan serta aturan yang baru. Ketika pemahaman kita tentang hidup berbeda, hubungan-hubungan sosial kita dengan orang lain pun juga berubah, termasuk keberadaan keluarga, serta bagaimana kita menjalankan hidup sebagai orang yang berkeluarga.
Dasar yang Goyah
Pada level yang lebih luas, proses globalisasi juga mempengaruhi cara orang berpikir tentang dirinya, sekaligus juga perannya di dalam keluarga. Dalam arti ini, globalisasi adalah proses pemadatan ruang dan waktu, sehingga aktivitas ekonomi, proses komunikasi, maupun informasi dari berbagai belahan dunia dilakukan dalam waktu yang sangat singkat, dan jarak seluas-luasnya. Di sisi lain, globalisasi juga membawa beberapa akibat bagi situasi jiwa manusia, yakni meningkatnya kompetisi, yang menuntut orang untuk terus berubah, dan menemukan hal-hal baru.
Dampaknya pun bisa dirasakan di Indonesia. Ayah saya bekerja di tempat yang sama selama 40 tahun. Untuk generasinya, ini adalah hal biasa. Mereka mendapatkan gaji, asuransi, maupun tunjangan yang memadai. Ibu saya pun sempat bekerja, ketika ia muda. Pada masa itu, pekerjaan yang mencari orang, dan bukan orang yang mencari pekerjaan. Situasi ini jelas mendorong orang untuk lebih cepat berkeluarga, dan mempunyai anak.
Di Indonesia, sejak krisis moneter pada 1997 lalu, terjadi proses liberalisasi dan privatisasi besar-besaran. Hukum buruh pun banyak mengalami perubahan. Sumber daya yang sebelumnya dikelola pemerintah kini dikelola oleh pihak swasta, dan masyarakat harus membayar untuk mendapatkannya. Pekerjaan tetap menjadi barang langka, digantikan oleh sistem kerja kontrak dan outsourcing, yang tidak memiliki masa depan maupun tunjangan yang jelas. Orang pun makin sulit hidupnya, sehingga mereka berpikir ulang untuk berkeluarga, atau mempunyai anak.
Rupanya, sebagaimana diamati oleh Beck-Grensheim, fenomena ini juga terjadi di negara-negara industri, seperti AS dan Eropa Barat. Orang tidak punya pilihan lain, selain bekerja dengan sistem kontrak. Sebaliknya, orang yang memiliki pekerjaan sekarang belum tentu memiliki pekerjaan keesokan harinya, karena situasi ekonomi yang amat bergejolak. Banyak orang berpikir dua kali untuk menikah, apalagi untuk punya anak.
Orang-orang mudalah yang paling merasakan dampak dari situasi ini. Mereka kerja dengan sistem kontrak selama bertahun-tahun, tanpa kepastian masa depan. Mereka harus bekerja dengan beban kerja yang sama, walaupun dengan penghasilan yang jauh lebih rendah. Beberapa di antara mereka terpaksa harus hidup dengan orang tuanya, karena tidak memiliki cukup uang untuk menyewa kamar atau rumah sendiri. Situasi ini jelas merupakan dasar yang amat rapuh untuk membangun dan membina keluarga.
Andai pun, kita memiliki pekerjaan yang mantap dengan gaji dan tunjangan yang memadai, masalah lain muncul. Beban kerja yang diberikan menjadi semakin berat. Bahkan, banyak orang tidak lagi punya waktu yang cukup untuk membina hubungan yang bermutu dengan keluarga mereka. Jam kerja berlipat, belum lagi jika orang mempertimbangkan jarak antara tempat kerja dan rumah, yang seringkali amat jauh, sehingga membutuhkan waktu panjang dan biaya tinggi untuk mencapainya.
Keluarga membutuhkan keberakaran. Keluarga membutuhkan kesediaan untuk meluangkan waktu yang berkualitas. Keluarga membutuhkan proses yang berkelanjutan. Keluarga membutuhkan intimitas. Faktor-faktor ini yang lenyap, ketika orang menghabiskan hidupnya untuk berkompetisi dan bekerja. “Tak heran dalam konteks ini,” demikian tulis Beck-Gernsheim, “dihadapkan pada tekanan permanen untuk bisa terus bergerak dan fleksibel, para pria dan perempuan muda memiliki kesulitan untuk mempertahankan hubungan yang stabil, dan seringkali tidak siap untuk memulai keluarga.”
Resiko yang Muncul
Di dalam masyarakat tradisional, tidak ada perbedaan antara tuntutan masyarakat dan keinginan pribadi. Akan tetapi, di abad 21 ini, terutama dalam konteks pernikahan, seringkali kebebasan pribadi bertabrakan dengan tuntutan keluarga, atau tuntutan masyarakat. Kini, suami dan istri bisa masing-masing memperjuangkan kepentingan dan harapannya di dalam keluarga. Melalui proses diskusi dan kompromi, mereka berusaha untuk mencapai kesepakatan dalam pelbagai urusan rumah tangga.
Akan tetapi, seperti kita semua tahu, kata “kesepakatan” adalah kata yang problematis. Di dalam hidup sehari-hari, kita tahu, betapa sulitnya untuk sepakat tentang suatu hal dengan orang lain, bahkan dari hal-hal kecil. Diskusi pun seringkali berubah menjadi arena pertempuran, dimana masing-masing pihak menyuarakan kepentingan mereka, tanpa mau saling mendengarkan. Dalam konteks keluarga, kemungkinan terburuknya jelas: perceraian.
“Ketika pernikahan berubah dari persatuan yang dibuat secara ketat oleh masyarakat pra industri menjadi ikatan yang bebas antar manusia-manusia”, tulis Beck-Gernsheim, “perubahan ini jelas membawa kemungkinan untuk kesalahpahaman, konflik, dan resiko perspisahan.” Dulu, ketika ide kebebasan menyebar, kita seolah hidup dengan penuh harapan, bahwa akhirnya manusia bisa terbebas dari kungkungan penjajahan kultural. Pernikahan pun lahir dari cinta dan kebebasan, bukan dari paksaan keluarga atau tuntutan sosial.
Namun, seperti saya sudah tulis sebelumnya, bahwa tidak ada yang gratis di muka bumi ini, kebebasan yang baru ditemukan itu pun harus dibayar dengan sesuatu. Institusi pernikahan dan keluarga menjadi sesuatu yang rapuh. Ketika mengalami masalah besar, dan semua keluarga pasti pernah atau akan mengalaminya, dukungan sosial dari keluarga dan masyarakat yang lebih luas menjadi amat lemah. Mereka diminta untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.
Tentu saja, semuanya menjadi lebih sulit. Di dalam situasi krisis, diskusi dan kompromi bisa berubah menjadi perang besar yang menggoncang rumah tangga itu sendiri. Di dalam situasi krisis, perbedaan menjadi sesuatu yang amat mengancam, sehingga menghasilkan kegelisahan yang berujung pada konflik rumah tangga. Ketika situasi krisis ini tak dapat dihadapi dengan tepat, maka perpisahan menjadi tak terhindarkan.
Beck-Gernsheim juga menjelaskan, bahwa di dalam pernikahan modern, ikatan emosional adalah penentu segalanya. Ketika sang suami atau istri tak lagi merasakan ikatan emosional dengan pasangannya, maka masalah pun muncul.Pernikahan bukan lagi urusan masyarakat, melainkan urusan pribadi dan emosional orang dengan pasangannya.Maka dari itu, upaya untuk menjaga ikatan emosional adalah sesuatu yang harus dilakukan oleh setiap orang, jika mereka ingin menikah di abad 21 ini.
Kita tidak mungkin kembali ke masa lalu, dimana orang harus tunduk sepenuhnya pada nilai-nilai kultural masyarakat yang sudah ada sebelumnya. Jika itu dilakukan, maka tentu akan timbul masalah baru yang jauh lebih besar. Pada titik ini, menurut saya, kita harus melihat pernikahan sebagai suatu seni, yakni seni untuk menjaga ikatan emosional intim antara dua orang, lepas dari segala tantangan yang ada. Setiap pasangan tentu memiliki ciri khasnya masing-masing dalam soal ini.
Membangun dan merawat ikatan emosional, itulah tugas mereka yang sudah atau akan menikah di abad 21 ini. Ikatan emosional ini harus dibangun dari kenangan dan harapan yang dibangun dari pengalaman intim berdua. Memang, seringkali upaya untuk membangun dan merawat ikatan emosional ini amatlah sulit, dan bisa membuat orang putus asa. Namun, saya yakin, kebahagiaan yang lahir dari proses semacam ini amat layak untuk diperjuangkan.
Kenyataannya, pernikahan semakin sulit di abad 21 ini. Harapannya, orang bisa menjaga keseimbangan antara kebebasan pribadinya sebagai manusia di satu sisi, dan kehidupan keluarga yang harmonis di sisi lain. Kenyataannya, hal semacam itu amat sulit dilakukan, dan seringkali berujung pada konflik rumah tangga. Para pasangan yang sudah atau akan menikah di awal abad 21 ini harus menari di antara kenyataan dan harapan tersebut.
Diinspirasikan dan dikembangkan dari Interview with Elisabeth Beck-Gernsheim – family structures and family life in second modernity. Wawancara ini dilakukan oleh Tine Ravn dan Mads P. Sørensen, 6 Mei 2013.
Tidak ada komentar:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar