Sabtu, 11 Mei 2013

Mati Demi Profit

Banyak suara berteriak dibalik runtuhnya bangunan. Orang menangis, berdoa, berteriak, dan mengeluh di bawah tumpukan materi bangunan yang ambruk. Di luar reruntuhan, orang terpana, nyaris tak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikan tangis dan jeritan sakit yang terdengar keras. Gedung tua yang sebelumnya berfungsi sebagai pabrik itu kini menjadi tumpukan material yang telah membunuh banyak orang dan mengurung sisanya, membuat mereka terjebak tak berdaya. 

Rana Plaza, terletak di daerah Savar, Bangladesh, tepat di ibu kota Dhaka, kini menjadi tempat yang tak akan terlupakan. Ribuan orang terjebak di dalam runtuhnya gedung tersebut. Ratusan di antaranya meninggal dalam sekejap mata. Sisanya mengalami cacat, entah cacat tubuh, atau cacat emosional. 

Sekitar 3000 orang bekerja di gedung tersebut, ketika bencana itu terjadi. Sekitar 500 mayat manusia berhasil dikeluarkan. Ratusan lainnya masih hilang. Dengan berjalannya waktu, jumlah korban masih belum bisa dipastikan. 

Bencana mengerikan di Savar, Bangladesh ini, sebagaimana dicatat oleh der Spiegel, merupakan bencana terbesar di sejarah Bangladesh terkait dengan industri. Ribuan orang bekerja di dalam situasi yang tidak manusiawi untuk menghasilkan produk-produk tekstil bagi perusahaan-perusahaan pakaian Amerika dan Eropa. Perusahaan-perusahaan tersebut memperoleh keuntungan besar dari kultur korupsi yang mengakar di Bangladesh, dibarengi dengan ketidakpedulian para pemilik pabrik di sana tentang situasi kerja kaum buruh. (Hasnain Kazim et.al, Mei, 2013) 

Sehari sebelumnya, banyak pekerja yang sudah melihat, bahwa gedung tempat mereka bekerja memiliki retak yang besar di dindingnya. Mereka pun tak diam saja, dan melaporkan ke otoritas setempat. Sebagaimana juga dicatat der Spiegel, semua orang disitu tahu, bahwa pabrik itu mendirikan tiga lantai lebih tinggi di bangunan pabrik, walaupun tak memiliki ijin resmi dari pemerintah. Ketika bencana terjadi, lantai illegal keempat sedang dibangun. 

Bangunan yang rapuh dan illegal ini ditempati oleh lima pabrik garmen dan satu bank. Namun, manajer bank itu memutuskan untuk pindah, karena alasan keamanan. Ia pun menyelamatkan 11 nyawa pekerjanya. Namun, manajer pabrik garmen itu tidak peduli, dan meminta pekerjanya untuk bekerja rutin, seperti biasa. 


Korupsi, lagi? 

Rupanya, peristiwa menyedihkan ini bukanlah yang pertama kali bagi warga di Savar. Pada 2005 lalu, sebuah gedung juga runtuh, dan meregut 64 nyawa manusia. Mirip dengan peristiwa di Rana Plaza, gedung itu juga membangun beberapa lantai secara ilegal. Juga disana, para pekerja bekerja di bawah situasi yang buruk untuk menjual barang bagi perusahaan-perusahaan garmen di Eropa. 

Pemilik gedung yang ambruk pada 2005 itu adalah Sayed Shahriyar. Mertuanya duduk di kursi parlemen. Istrinya adalah hakim. Ia hanya menghabiskan waktu sebentar di penjara, sebelum akhirnya dibebaskan. 

Pemilik Rana Plaza, Mohammed Sohel Rana, mencoba melarikan diri. Ia kemudian ditangkap oleh polisi di perbatasan India. Namun, hati-hati, Rana punya koneksi politik yang juga kuat. Ia juga sangat kaya. Apakah keadilan akan datang padanya? 

Usianya 30 tahun. Ia membangun gedung Rana Plaza di atas tanah yang ilegal. Walikota sendiri yang mengesahkan gedung itu, walaupun itu bukan haknya. Ini kasus biasa yang terjadi di Bangladesh (juga Indonesia?). Gabungan antara korupsi, sikap rakus, dan tak bertanggung jawab akhirnya berujung pada bencana yang memakan nyawa manusia.Dalam kasus ini, peran para konsumen, yakni pakaian, terutama para konsumen di Eropa yang bisa memperoleh pakaian murah, juga besar. 

Petugas negara yang mengawasi pabrik di sana hanya berjumlah 18 orang. Padahal, ada ribuan pabrik garmen yang harus diawasi. Sehari sebelumnya, Rana sudah menjelaskan, bahwa retakan di pabrik akan diplester. Tindakan itu, menurut para insinyurnya, cukup. Para manajer pabrik juga menyatakan, bahwa para pekerja yang tidak mau bekerja, karena alasan keamanan gedung, akan dipecat. 

Memang, belakangan ini, seperti juga dicatat oleh der Spiegel, para pengusaha Eropa mengeluh, karena banyak demonstrasi dan protes di Bangladesh. Produksi pakaian menurun, bahkan hampir berhenti. Karena hal ini, banyak perusahaan Eropa dan Amerika mulai berpikir untuk menutup pabrik di sana, lalu pindah ke tempat lain, Afrika misalnya. Bangladesh adalah eksportir tekstil terbesar kedua di dunia, setelah Cina. 


Pakaian Murah?

Industri pakaian di Bangladesh memperkerjakan sekitar 4 juta orang. Industri ini juga mengisi 80 persen pendapatan negara itu dari ekspor. Ketika protes dan demo terjadi, banyak orang panik. Setelah demo selesai, banyak pabrik menekan para pekerjanya untuk mengejar ketinggalan produksi. Bekerja dalam rasa takut, upah rendah, dan situasi yang sama sekali tidak aman, mereka kini meninggal demi keuntungan beberapa pihak. 

Pimpinan sekitar dagang di Dhaka, Roy Ramesch Chandra, seperti dikutip der Spiegel, menegaskan, “Para pekerja Bangladesh harus membayar dengan nyawa mereka, sehingga para pembeli dari negara lain bisa membeli pakaian murah.” Menyedihkan. Menyakitkan. Kepuasaan satu kelompok di belahan dunia tertentu dibayar dengan penderitaan dan nyawa dari orang-orang di belahan dunia lainnya. 

Di Jerman, saya biasa membeli pakaian-pakaian murah di toko-toko seperti Aldi, H&M, atau C&A. Saya sama sekali tidak sadar, bahwa pakaian yang saya beli adalah hasil dari perasan keringat para pekerja yang dibayar murah di belahan dunia lainnya. Mereka bekerja tanpa asuransi, dan dalam situasi yang sama sekali tidak sehat. Mendengar berita menyakitkan di Bangladesh, saya mempertimbangkan untuk membuang pakaian-pakaian yang telah saya beli di toko-toko itu. 

Kini, mayat-mayat manusia yang ditarik keluar dari gedung yang ambruk itu tetap diam. Mereka adalah ibu dari seorang anak, istri dari seorang suami, ayah dari seorang anak, kekasih dari seseorang yang patah hatinya, dan adik terkasih dari kakak yang hancur hatinya. Apa pilihan mereka? Bisakah mereka mendapatkan keadilan? Apakah keadilan masih berarti, ketika orang yang kita kasihi sudah meninggalkan kita? 


Bisnis dan Kompetisi 

Jika ditanya, mengapa H&M, C&A, Lidl, dan perusahaan-perusahaan lainnya membeli pakaian murah dari pabrik-pabrik cacat hukum itu, mayoritas mereka akan menjawab, demi memenangkan kompetisi, dan meraih keuntungan lebih besar. Atas nama kompetisi dan keuntungan, tindakan-tindakan menindas dibenarkan. Apakah kita mau berbisnis dengan cara-cara semacam ini? Bagaimana jika kita, atau orang yang kita cintai, menjadi korban dari cara berbisnis semacam ini? 

Peraturan yang mengikat berbagai pabrik di seluruh belahan dunia harus ditegakkan, supaya kompetisi bisa berjalan sehat, yakni dengan menghormati hak-hak asasi manusia setiap orang. Tidak boleh ada negara yang memeras pekerjanya, demi memenangkan kompetisi. Ini memang terdengar normatif, tetapi seruan semacam ini harus terus diteriakan, supaya orang tidak terlena di dalam kedangkalan dan kejahatan yang telah seolah menjadi biasa. Di tengah sistem ekonomi global yang menguntungkan satu belahan dunia dan pada saat yang sama menindas belahan dunia lainnya, kita menciptakan sendiri keadaan jelek yang melahirkan kebencian, dendam, dan perang. 

Sebagai konsumen, kita juga perlu melakukan tindakan-tindakan aktif. Boykot barang adalah salah satunya. Ketika kita merasa, bahwa satu perusahaan telah memperoduksi barangnya dengan cara-cara yang melanggar hukum dan HAM, kita perlu membentuk kelompok untuk “tidak membeli” produk perusahaan itu, dan mengajak orang lainnya untuk melakukan hal yang sama. Dalam hal ini, boykot adalah tindakan moral.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...